Napoleon, Italia
Tiga bulan berada di Italia, tepatnya
kota Napoli menggoreskan banyak kenangan tak terlupakan bagi Drs. Ilham
Zoebazary, MSi. Ingat banget, beliau adalah salah satu pemateri saya waktu ikut pelatihan teater dari Universitas Jember kepada delegasi atau perwakilan tiap jurusan. Beliau kalau memberi masukan itu santai banget, tetapi bener bener ngena dan semua cerita, pengalaman dan pengetahuan beliau sangat menginspirasi.
Salah satunya adalah sikap keramahtamahan dan
kekeluargaan yang kental yang diperlihatkan masyarakat Italia. “Selama
di Napoli saya dan kawan-kawan dari Indonesia sering diundang makan oleh
kawan-kawan Italia. Bukan sekedar makan, tapi ini makan besar seperti
saat mereka merayakan peristiwa besar atau hari raya keagamaan,” ungkap
dosen Fakultas Sastra Universitas Jember yang akrab dipanggil Mas Ilham
ini. Menariknya lagi, kawan Italia yang
mengundang makan juga menghadirkan anggota keluarga besarnya dari kakek
nenek sampai para paman dan bibi. “Kami jadi merasa sangat terhormat,
sikap ramah tamah ini berbeda dengan kebiasaan orang Eropa barat seperti
di Belanda, Inggris atau Jerman,” katanya lagi. Tidak hanya ramah
kepada tamu, orang Italia tidak sungkan memperlihatkan rasa kasih
sayangnya di hadapan orang lain. Tak jarang saat diundang makan, Mas
Ilham sering melihat anggota keluarga sang tuan rumah saling menyuapi,
misalnya sang kakek menyuapi sang nenek dengan mesra. Pengalaman menarik lainnya adalah saat
mengetahui Profesor Antonia Soriente pembimbingnya selama memperdalam
kajian literatur di Universita di Napoli L’Orientalia bersuamikan pria
asal Mayang, Jember. “Saya sangat surprised, ternyata suami Profesor Antonia asal Kecamatan Mayang, Jember. Pantas dia tahu banyak mengenai Jember, lha wong sudah beberapa kali ke Jember hahaha,” ceritanya lagi.
Drs. Ilham Zoebazary, MSi dan Profesor Antonia Soriente
Selain pengalaman saat berinteraksi
dengan warga Napoli, Mas Ilham juga banyak melihat contoh menarik
terkait kehidupan akademik di kampus yang khusus mempelajari bahasa,
sastra dan budaya di kawasan Asia dan Afrika. Selama Oktober sampai
Desember 2012 belajar di Universita di Napoli L’Orientalia, dirinya
sempat menghadiri lima seminar internasional, empat di Napoli dan satu
di Leiden, Belanda. “Saya sempat heran karena seminar internasional
hanya dihadiri lima belas orang saja. Beda dengan di Indonesia yang
biasanya dihadiri banyak peserta. Di kampus-kampus di Indonesia, seminar
internasional hanya dihadiri oleh lima belas orang saja pasti dianggap
gagal,” jelasnya serius. Tetapi jangan dikira seminar tadi akan
berjalan sepi-sepi saja, ternyata peserta yang minim tadi justru sangat
produktif berdiskusi, saling mengeluarkan hasil penelitiannya sehingga
menghasilkan banyak rekomendasi, bahkan bisa berupa buku. “Pelajaran
yang dapat diambil adalah mereka menekankan pada kualitas dan bukannya
kuantitas. Yang dipentingkan adalah proses selama seminar dan hasilnya,
bukan banyaknya peserta seminar,” tambah dosen yang suka bertopi ala
pelukis ini. Ketekunan dan kemandirian mahasiswa di
Universita di Napoli L’Orientalia juga patut dicontoh oleh mahasiswa
kita. Walaupun mereka mahasiswa di sebuah jurusan tertentu, tetapi
setiap mahasiswa wajib menguasai dua buah bahasa lain. Misalnya saja
seorang mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, selain wajib
menguasai Bahasa Indonesia, mereka juga wajib menguasai satu bahasa di
kawasan Asia lain dan serta satu bahasa di kawasan Eropa. “Jadi saat
lulus, mereka menguasai tiga bahasa asing. Mereka tidak puas hanya
belajar di kampus, mengunjungi negara yang bahasanya tengah mereka
pelajari juga menjadi keharusan,” tutur Mas Ilham yang tengah
menyelesaikan studi doktoralnya. (iim)
repost, edited from:
regards,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar